Oleh :
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Ada riwayat yang dikemukakan oleh Thabrani dalam Al-Ausath (I/33/1 dari Zawa’id Al-Mu’jam Al-Ausath dan Al-Mu’jam Ash-Shagir) sebagai berikut.
“Artinya : Muhammad bin Nashr telah menceritakan kepada kami, (ia berkata) : Harmalah bin Yahya telah menceritakan kepada kami, (ia mengatakan) : Ibnu Wahb telah menceritakan kepada kami, (ia berkata) : Ibnu Juraij memberi khabar kepada saya dari Atha bahwa ia (Atha) mendengar Ibnu Az-Zubair berkata ( ketika berada) diatas mimbar : ‘Apabila seseorang diantara kamu masuk ke masjid sedangkan orang-orang (yang shalat) ruku’, maka hendaknya ia ruku’ seketika ia masuk (masjid), kemudian ia berjalan sambil ruku’ hingga masuk kedalam shaf (barisan shalat), maka sesungguhnya yang demikian itu adalah sunnah”[1]
“Artinya : Muhammad bin Nashr telah menceritakan kepada kami, (ia berkata) : Harmalah bin Yahya telah menceritakan kepada kami, (ia mengatakan) : Ibnu Wahb telah menceritakan kepada kami, (ia berkata) : Ibnu Juraij memberi khabar kepada saya dari Atha bahwa ia (Atha) mendengar Ibnu Az-Zubair berkata ( ketika berada) diatas mimbar : ‘Apabila seseorang diantara kamu masuk ke masjid sedangkan orang-orang (yang shalat) ruku’, maka hendaknya ia ruku’ seketika ia masuk (masjid), kemudian ia berjalan sambil ruku’ hingga masuk kedalam shaf (barisan shalat), maka sesungguhnya yang demikian itu adalah sunnah”[1]
Atha mengatakan : ‘Sesungguhnya saya melihat Ibnu Az-Zubair melakukan yang demikian itu’.
Ibnu Juraij pun mengatakan : ‘Sesungguhnya saya melihat Atha’ melakukan yang demikian itu’.
Selanjutnya Thabrani mengatakan : (Riwayat diatas,-red) tidak diriwayatkan dari Ibnu Az-Zubair melainkan hanya dengan sanad ini. Harmalah bersendirian saja sanad ini.
Saya (Syaikh Al-Albani) katakana : Dia (Harmalah) adalah tsiqah (terpercaya), termasuk salah satu orangnya Muslim. Sedangkan orang-orang yang diatas Harmalah, semuanya tsiqah (terpercaya), termasuk orang-orannya dua syaikh (Bukhari dan Muslim).
Sementara itu Muhammad bin Nashr adalah Ibnu Humaid Al-Waazi’ Al-Bazzar. Selain Thabrani menyebutkan Ahmad, seperti yang disebutkan oleh Al-Khatib (Al-Baghdadi) juz III/tarjamah biografi Muhammad bin Nashr 1411 dan juz V/tarjamah biografinya 2625. Al-Khatib mengatakan : Dia (Muhammad bin Nashr) adalah tsiqah (terpercaya).
Diantara yang (juga) menguatkan keshahihan riwayat hadits (Ibnu Juraij dari Atha’) tersebut adalah amalan/perbuatan para sahabat sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan ruku’ sambil berjalan memasuki shaf shalat ketika mendapati jama’ah shalat sedang ruku’. Diantaranya ialah Abu Bakar Ash-Shidiq, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Az-Zubair.
[1]. Al-Baihaqi meriwayatkan II/90 dari Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al-Harits bin Hisyam ; bahwa Abu Bakar Ash-Shidiq dan Zaid bin Tsabit masuk masjid ketika imam ruku’. Maka beliau berduapun ruku’, kemudian beliau berdua berjalan sambil ruku’ hingga memasuki shaf.
Saya (Syaikh Al-Bani) katakan : Orang-orang (para perawi)nya terpercaya. Andaikata Makhul tidak meriwayatkannya dari Abu Bakar bin Al-Harits secara an’anah, tentu saya menghasankan riwayat ini. Tetapi riwayat tentang Zaid bin Tsabit berikut ini shahih (yaitu) :
[2]. Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif ; Sesungguhnya ia melihat Zaid bin Tsabit masuk masjid ketika imam ruku’, maka beliaupun berjalan sambil ruku’ hingga memungkinkannya mencapai shaf. Beliau bertakbir (takbiratul ikhram) lalu ruku’. Kemudian ia berjalan sambil ruku’ hingga mencapai shaf. Hadits/atsar ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi II/9083/106 dan sanadnya shahih.
[3]. Dari Zubair bin Wahb ia bercerita : Saya bersama Abdullah –yakni Ibnu Mas’ud- keluar dari rumahnya menuju masjid. Ketika kami sampai ketengah-tengah masjid, imam ruku’. Maka Abdullah (bin Mas’ud) bertakbir dan ruku’, sayapun ruku’ bersamanya. Kemudian kami berjalan sambil ruku’ hingga (manakala) kami mencapai shaf, disaat jamaah shalat mengangkat kepalanya (i’tidal). Setelah imam selesai shalat, saya berdiri (lagi) karena saya beranggapan bahwa saya belum mendapat raka’at. Maka Abdullah (bin Mas’ud) mengamit tangan saya dan menahan saya (supaya tetap duduk). Lantas (seusai shalat) beliau berkata : ‘Sesungguhnya engkau telah mendapatkan raka’at’.
Riwayat diatas dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf I/99/1-2. Begitu juga dikeluarkan oleh Abdur Razaq II/283/3381, Ath-Thahawi dalam Syarh Al-Ma’ani I/231-232, Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir III/32/1 dan Al-Baihaqi dalam Sunnannya II/90-91 dengan sanad yang Shahih.
[4]. Dari Utsman bin Al-Aswad, ia mengatakan : ‘Saya bersama Abdullah bin Tamim masuk masjid. Maka imam ruku’, saya dan Abdullah bin Tamim ruku’, kami berjalan sambi ruku hingga masuk kedalam shaf. Ketika shalat telah usai, Amr bertanya kepada saya : ‘Yang engkau lakukan tadi, dari siapa engkau mendengarnya? Saya menjawab : Dari Mujahid, ia berkata : Sesungguhnya saya melihat Ibnu Az-Zubair melakukannya” (Riwayat ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan sanadnya shahih).
Kisah ini merupakan mutaba’ah (penyertaan) yang kuat dari Mujahid kepada Atha’ tentang apa yang ia riwayatkan berkenan dengan perbuatan Ibnu Az-Zubair.
Riwayat (Atha’) tersebut juga disertai oleh Katsir bin Abdil Muthalib pada riwayat Abdur Razaq II/284.
Atsar-atsar tentang itu banyak. Siapa yang ingin melihat keterangan tambahannya, dipersilahkan merujuk pada dua kitab Mushannaf (yakni : Mushannaf Abdur Razaq dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, wallahu ‘alam,-red).
Atsar ini menunjukkan sesuatu (faidah) yang lain lagi disamping (faidah) yang telah ditunjukkan hadits. Yaitu bahwa orang yang menjangkau ruku’nya imam, berarti ia mendapatkan raka’at shalat.
Itu telah jelas melalui perkataan Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar dengan dua sanad periwayatan yang shahih dari keduanya.
Saya (Syaikh Al-Albani) telah mengeluarkan kedua jalan riwayat tersebut dalam Irwa’ul Ghalil no. 119. Didalamnya juga terdapat hadits hasan yang marfu (terangkat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dari Abu Hurairah. Saya juga telah mengeluarkan hadits tersebut dalam Irwa’ul Ghalil. Karena itu jangan terperdaya jika ada selebaran yang menyelisihinya.
Adapun yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya Juz’u Al-Qiro’ah hal.24(jadi bukandalam kitab Shahihnya,-red), dari Ma’qil bin Malik, ia berkata : Abu ‘Awanah telah menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Ishaq dari Abdur Rahman Al-A’raj dari Abu Hurairah. (Bahwa) Abu Hurairah berkata :
“Artinya : Apabila engkau menjangkau jama’ah ruku’, maka raka’at tersebut tidak dihitung (tidak dianggap)”.
Maka disamping riwayat ini bertentangan dengan atsar-atsar sebelumnya, juga sanadnya dhaif (lemah) disebabkan adanya Ma’qil (bin Malik). Ma’qil ini tidak ada yang menstsiqahkan selain Ibnu Hibban. Al-Azdi (bahkan) mengatakan bahwa ia (Ma’qil) : Matruk (ditinggalkan riwayatnya).
Kemudian, di dalam riwayat itu ada an’anah Ibnu Ishaq ( riwayat dengan ungkapan ; dari fulan .. dari… fulan), sedangkan Ibnu Ishaq adalah seorang yang mudallis (dengan kata lain an’anah Ibnu Ishaq tidak dapat dipertanggung jawabkan,-red).
Karena itu, diamnya Al-Hafizh (Ibnu Hajar) dalam At-Talkhish 127 (maksudnya, tidak berkomentarnya Ibnu Hajar), tidalah baik.
Ya, Bukhari memang meriwayatkan melalui jalan lain dari Ibnu Ishaq, (bahwa) ia (Ibnu Ishaq) berkata : Al-A’raj telah menceritakan kepada saya riwayat tersebut. Tetapi riwayat itu dengan lafal.
“Artinya : Tidak menjadikanmu (mendapat raka’at) melainkan bila kamu (masih sempat) menjumpai imam masih dalam keadaan berdiri (sebelum ruku’,-red)”.
Sanad ini hasan dan tidak bertentangan dengan atsar-atsar terdahulu. Bahkan secara zhahir saling bersesuaian. Hanya saja riwayat (dari Abu Hurairah ini) mensyaratkan ; “Sempat menjumpai imam masih dalam keadaan berdiri (sebelum ruku)”. Namun persyaratan ini hanya berasal dari Abu Hurairah. Sedangkan kami tidak melihat persyaratan ini mempunyai kekuatan, sebab orang-orang (para sahabat) yang menyelisihi Abu Hurairah lebih faqih dan lebih banyak jumlahnya Radhiyallahu ‘anhum jami’an.
footnote:
[1] Hadit diatas dikatakan oleh Al-Haitsami II/96 : ‘Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Ausath, sedangkan orang-orang (para perawi)nya adalah orang-orang nya kitab Shahih’.
Saya (Syaikh Al-Albani) katakan : Maka hadits tersebut adalah shahih jika Ibnu Juraij mendengarnya (langsung ,-red) dari Atha’. Sesunguhnya Ibnu Juraij itu mudallis. Dan ternyata ia meriwayatkannya (dari Atha’) dengan an’anah (tidak dengan perkataan : ‘Saya mendengar”-red).
Tetapi ada perkataan Ibnu Juraij pada akhir hadits : ‘Sesungguhnya saya melihat Atha’ melakukan yang demikian itu (yakni ruku’ sambil berjalan memasuki shaf (barisan shalat) ketika masuk masjid diwaktu jama’ah sedang ruku, -red).
(Dari perkataan ini) diketahui bahwa Ibnu Juraij menerima langsung riwayat itu dari Atha’. Sebab adalah terlalu jauh bila ia mendengar riwayat tersebut (dari Atha’) melalui orang lain, sementara ia melihat sendiri Atha’ mengamalkan hadits yang ia (Ibnu Juraij) riwayatkan darinya, sedangkan ia tidak menanyakan perihal hadits tersebut kepada Atha’. Ini amat jauh. Maka yang benar bahwa sanad tersebut shahih.
Kemudian saya (Syaikh Al-Albani) lihat dalam Mushannaf Abdur Razaq II/284/3386 terdapat riwayat yang menguatkan apa yang telah saya sebutkan, yaitu bahwa Ibnu Juraij menerima riwayat (diatas) langsung dari Atha’. Hadits (yang terdapat dalam Mushannaf Abdur Razaq) tersebut dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya no. 1571, dan Al-Hakim I/214, serta dikeluarkan pula oleh Baihaqi darinya III/106 melalui jalan Sa’id bin Al-Hakam bin Abi Maryam, (ia berkata) : ‘Abdullah bin Wahb telah menceritakan kepada saya hadits tersebut. Al-Hakim mengatakan : ‘Shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim’. Adz-Dzahabi menyepakati perkataan Al-Hakim itu, dan memang hal itu (benar) seperti apa yang mereka katakan’.
[Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 229]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun III/1419-1998. Diambil dari kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 229 Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani]
sumber : http://almanhaj.or.id
Comment Form under post in blogger/blogspot